Advertisement

Kekalahan Maroko dan Frustrasi Anak Muda Negeri Magribi

Budi Cahyana
Kamis, 15 Desember 2022 - 20:32 WIB
Budi Cahyana
Kekalahan Maroko dan Frustrasi Anak Muda Negeri Magribi Suporter Maroko di Piala Dunia 2022. - Instagram @equipedumaroc

Advertisement

JOGJA—Maroko membuat banyak penggemar sepak bola netral, atau mereka yang tidak mendukung tim tertentu, jatuh hati. Selain karena gaya mainnya yang tak kenal takut, Maroko didukung suporter yang memenuhi hampir semua tribune stadion tempat Singa Atlas bertanding dengan sorak sorai membahana.

Namun, petualangan mereka berakhir di semifinal. Kini, suporter Maroko di dalam negeri harus kembali pada situasi yang tak menyenangkan.

Advertisement

Dongeng Maroko pada Piala Dunia 2022 berakhir di Stadion Al Bayt, Al Kohr, Qatar, Kamis (15/12) dini hari WIB. Kalah 0-2 dari juara bertahan Prancis, Maroko gagal menjadi tim pertama di luar Eropa dan Amerika yang menggapai final Piala Dunia.

Maroko masih punya kesempatan menduduki peringkat ketiga. Mereka akan melawan Kroasia di Khalifa International Stadium, Sabtu (17/12/2022) malam WIB. Maroko sangat menarik salah satunya karena suporter mereka sangat riuh.

Steve Wilson, komentator siaran langsung Maroko versus Prancis berkata sedikitnya 50.000 suporter Maroko memenuhi Stadion Al Bayt yang berkapasitas 68.500 orang. “Tetapi kebisingan mereka terasa seperti dari 60.000 orang,” ujar Danny Murphy menimpali koleganya.

BACA JUGA: Mario Gotze, Kemerosotan Tuhan Palsu

Seandainya Maroko menang atas Prancis, Lusail Stadium, stadion final Piala Dunia 2022 tentu akan lebih bergemuruh karena fans Maroko akan bertemu fans Argentina yang menurut bekas pelatih Spanyol Luis Enrique menjadi suporter paling bersemangat di Qatar 2022.

Dima Maghrib, bahasa prokem yang artinya kurang lebih Panjang Umur Maroko, banyak beredar di linimasa medsos di hari-hari terakhir Piala Dunia, digaungkan tidak hanya oleh fans Maroko, tetapi juga penggemar sepak bola di penjuru dunia.

Sebelum laga Prancis melawan Maroko, media-media berbahasa Inggris menurunkan laporan tentang dukungan terhadap Maroko yang menyebar di Afrika, Timur Tengah, hingga sebagian Eropa. Maroko adalah tim Afrika pertama yang mampu melaju ke semifinal Piala Dunia sehingga punchng.com, media di Nigeria menyebut Maroko kini merepresentasikan harapan dari Afrika. Middle East Eye, media yang mengover peristiwa di Timur Tengah menyebut fans sepak bola dari negara-negara Arab kini serempak berada di belakang Maroko. Time membuat laporan panjang tentang dilema ratusan ribu pendukung Prancis.

“Ketika saya di Prancis, saya 100 persen orang Prancis. Ketika saya di Maroko, saya 100 persen orang Maroko. Di atas itu semua, dukungan saya dipengaruhi dari mana saya berasal sehingga saya mendukung Maroko meski ini sangat sulit,” kata Benjamin El Jaziri kepada Time.

Pria 69 tahun itu membuka restoran Arab sejak datang ke Paris 30 tahun silam. Sekurangnya 750.000 warga Prancis berakar dari Maroko. Mereka bagian dari generasi pertama dan kedua imigran Afrika Utara yang mengadu nasib di Eropa. Seusai Maroko kalah dari Prancis, kerusuhan pecah di Lyon, Montpellier, Brussels, hingga Amsterdam, tempat komunitas Afrika Utara hidup bertahun-tahun di Eropa.

BACA JUGA: Perjalanan Mohamed Salah dari Delta Sungai Nil Menjadi Superstar Anfield, dan Penyebab Kegagalannya di Chelsea

Di Qatar, kekalahan Singa Atlas diterima dengan lapang dada oleh para pendukungnya. “Inilah sepak bola. Kami tetap bangga,” kata Fatima, suporter Maroko setelah timnya takluk dari Prancis sebagaimana dilansir Al Jazeera.

“Sepak bola Maroko kini berubah. Ini bukan kekalahan. Kami tetap merasa Maroko menjadi juara.”

Sepak bola Maroko memang berubah berkat kesuksesan di Qatar. Setidaknya pemain-pemain yang searang merumput di klub semenjana mulai dilirik tim elite Eropa. Namun, di dalam negeri, suporter Maroko masih harus menghadapi situasi yang membuat mereka frustrasi.

Suporter klub sepak bola Maroko terkenal sangat militan dan sejak satu dekade terakhir memanfaatkan stadion untuk menyuarakan keputusasaan terhadap monarki dan politisi yang berkuasa di negara itu.

Sosiolog Abderrahim Bourkia, penulis Ultras in the City. A Sociological Inquiry on Urban Violence in Morocco mengatakan ultras, sebutan untuk kelompok suporter garis keras, di Maroko mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari gerakan perlawanan terhadap pemerintah, polisi, dan orang-orang kaya yang mengisap sumber daya negara dan kaum rudin.

Mereka mengikuti jejak ultras Mesir, yang berperan besar dalam Arab Spring pada 2011. Chant-chant ultras Maroko banyak menyuarakan protes atas korupsi, ketidakadilan, buruknya pendidikan, hingga kemiskinan yang memaksa ribuan anak muda Maroko terpaksa bermigrasi ke Eropa dan mati tenggelam saat menyeberang lautan.

Maroko adalah negara yang membatasi kebebasan berpendapat dan kurang melindungi hak asasi manusia. Sementara, stadion seolah menjadi suaka, sebuah tempat aman untuk bersuara karena anak-anak muda bisa berteriak lantang dalam kerumunan, tanpa bisa diidentifikasi oleh polisi.

BACA JUGA: Mengapa Cristiano Ronaldo Masih Hebat di Usia Tua? Ini Rahasianya

“Kami dijauhkan dari politik formal, tetapi di stadion kami merasa punya kontrol dan kekuasan. Di stadion, kami bebas mengekspresikan apa yang kami inginkan,” kata salah satu ultras Raja Casablanca, klub terbesar Maroko, dalam wawancara dengan Christopher J. Cox, yang dimuat dalam makalah berjudul Morocco’s Marginalized Youth and the Rise of Football Ultras di jurnal Middle East Report, pertengahan 2022 ini.

Ultras di Maroko telah berkembang menjadi gerakan sosial, meski perkelahian masih sering terjadi di antara mereka. Ketika stadion mulai dibuka pada awal tahun lalu setelah dua tahun tutup akibat pandemi, huru-hara terjadi saat Hassania d’Agadir dan FUS Rabat bertemu. Suporter dua klub tersebut berkelahi dan puluhan orang disalahkan. Ultras menjadi kambing hitam dan mereka langsung membalas.

“Kekerasan ini adalah buah dari buruknya sistem pendidikan dan masalah sosial lain di negara ini. Padahal menurut pengalaman saya, ultras yang berjasa menggiring banyak anak muda Maroko menjauhi kriminalitas dan obat terlarang,” kata salah satu anggota Black Army, ultras pendukung FAR Rabat.

Terlepas dari keberhasilan Maroko di Piala Dunia 2022, anak-anak muda Maroko harus menghadapi buruknya kondisi sosial dan politik Negeri Magribi, negeri Matahari terbenam. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Jogja Tuan Rumah Superchallenge Supermoto 2024, Catat Tanggalnya

Olahraga
| Sabtu, 20 April 2024, 05:47 WIB

Advertisement

alt

Kota Isfahan Bukan Hanya Pusat Nuklir Iran tetapi juga Situs Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Jum'at, 19 April 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement