Advertisement

Trofi Piala Presiden 2019 Dibuat di Kotagede, Begini Ceritanya

Lugas Subarkah
Jum'at, 12 April 2019 - 09:57 WIB
Budi Cahyana
Trofi Piala Presiden 2019 Dibuat di Kotagede, Begini Ceritanya Surya Aditya (kiri) dan dua orang anggota timnya terlibat menghias Piala Presiden. - Harian Jogja/Istimewa

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Final Piala Presiden akan mempertemukan dua tim asal Jawa Timur. Bukan berarti Jogja tidak kebagian. Justru dari kota inilah trofi yang diperebutkan di kompetisi bergengsi itu berasal. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Lugas Subarkah.

Klub mana yang berhak memboyong Piala Presiden bakal ditentukan Jumat (12/4/2019) malam ini. Hanya ada dua kemungkinan, Arema FC atau Persebaya. Di final, Arema FC gantian yang akan bertindak sebagai tuan rumah bagi Persebaya Surabaya untuk bertanding hidup mati di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Advertisement

Meski dua klub asal Jawa Timur yang nantinya berhak memboyong Piala Presiden, tetapi Jogja juga memberikan andil. Surya Aditya dan dua orang anggota timnya terlibat menghias Piala Presiden.

Pada Rabu (10/4/2019), Surya sibuk mempersiapkan Piala Presiden di studionya di Kotagede sebelum dibawa ke Malang, Jawa Timur. “Nanti malam [Rabu malam] mau dibawa ke Malang,” kata pria berambut panjang dan berkacamata itu sembari menggotong trofi ke ruang utama.

Pria yang berusia belum genap 25 tahun ini sedang ketiban sampur untuk menggarap Trofi Piala Presiden 2018. Surya dengan brand-nya yang bernama Sweda ini mendapat bagian menghias trofi dengan perak, meneruskan bentuk dasar yang telah dibuat oleh seniman Bali, Ida Bagus Lasem. Bagian dasar trofi ini dibuat dari kayu berusia 80 tahun.

Surya berkisah konsep dasar yang menjadi acuannya dalam finishing Piala Presiden ini adalah membuat hiasan perak yang dapat menjadi simbol ke-Indonesia-an. Untuk itu, ia memasukkan motif kembang mandalika, salah satu bunga khas nusantara yang bisa menjadi dimaknai sebagai lambang Bhinneka Tunggal Ika. Secara visual, bunga itu memiliki kelopak yang memisah dan mengerucut jadi satu di bagian atas.

Selain itu, ia memberi batuan alam yang terdapat di Indonesia yang membentuk warna merah putih di bagian tengah trofi.

Sejumlah batu yang dipakai seperti cempaka aceh, badar besi kebumen, red baron, batu acitan, kalimantan dan sebagainya. “Aku sampai pergi ke Pacitan kemarin buat nyari salah satu batu,” katanya.

Untuk menyelesaikan proyek ini, ia dan timnya diberi waktu satu bulan. Bahan dasar perak ia dapatkan dari wilayahnya sendiri yang memang menjadi sentra perak, yakni Kotagede.

Sebenarnya, Sweda telah mendapat amanah untuk turut merancang Trofi Piala Presiden sejak 2017. Ini bermula ketika 2016, mereka membuka lapak di salah satu gelaran seni terbesar di Jogja, Artjog. Saat itu, ada salah satu anggota PSSI yang datang ke lapaknya dan membeli cincin produksi Sweda. Sayangnya cincin itu ukurannya tidak cocok, dan berniat meminta desain yang sama dengan ukuran yang lebih besar. Kebetulan Surya sedang tidak di lokasi. Alhasil orang PSSI ini meminta kontak Surya dari petugas Artjog.

Singkat cerita, setelah itu, orang PSSI ini memberi perhatian lebih pada roduk Surya dan menawarinya untuk menghias Trofi Piala Presiden. Tadinya, trofi ini hanya kayu polos, meski memiliki nilai filosofis tinggi, tapi secara tampilan tetap kurang menarik. Maka diberikanlah mandat pada Surya untuk memolesnya.

Konsep trofi pada 2017 juga tak jauh beda dari trofi 2018, yakni mengambil desain Bunga Mandalika. Hanya waktu itu tidak memakai hiasan batu, melainkan hanya perak saja. Dan waktu itu, Surya hanya diberi waktu 11 hari untuk merampungkan tugasnya. “Tapi bisa sih selesai dengan maksimal, cuma setelah itu mereka bilang bisa lebih disempurnakan lagi hiasannya,” katanya.

Sweda merupakan brand besutan Surya bersama kakak dan seorang kawannya. Brand ini pada umumnya adalah produksi kerajinan perak, yang memiliki spesifikasi pada produksi signed ring, atau cincin custom. Mulanya, Surya berusaha sendiri pada 2014. Waktu itu, ia hanya membuat desain dan memasrahkan produksi cincin pada perajin di dekat rumahnya.

Ia mendefinisikan apa yang ia kerjakan sebagai “proyek nguri-uri budaya Kotagede,” karena di Kotagede sendiri, pemuda seusianya sudah sangat jarang yang menekuni kerajinan perak. Meski sebenarnya ia sendiri tidak lahir dari keluarga perajin perak, dan hanya mengandalkan passion seni dan kecintaannya pada local culture. “Aku baru belajar mulai 2014,” katanya.

Pria yang sempat mengenyam pendidikan seni rupa ISI tetapi tidak tamat ini memang memiliki passion berlebih pada bidang seni. Waktu sekolah pun ia memilih SMSR sebagai sumber ilmunya. Ditambah lingkungan yang mendukung untuk berkesenian, ia pun semakin menaruh perhatian pada produksi cincin dan mulai serius pada 2015.

Setelah itu Surya mulai merekrut sejumlah pegawai tambahan untuk fokus pada pengerjaan perak. Sedangkan ia sendiri lebih mengambil peran pada pemasaran dan art director. Surya juga mulai membangun studio dua lantai yang berada tepat di samping rumahnya.

Sweda mengambil konsep local culture dalam setiap produknya. Signed ring buatan Surya dibuat dengan cara yang masih sangat manual, baik dalam pengukiran maupun pembakaran, yang alatnya disebut Surya sebagai “gembosan”, karena cara pengoperasiannya yang tidak memakai gas, tetapi diinjak dengan kaki. Menurutnya, cara produksi seperti ini sangat berpengaruh pada kualitas yang dihasilkan. “Ukiran bisa sangat detail dan daya tahan bisa lebih lama,” kata Surya.

Hal ini pula yang mengantarkannya pada pasar internasional. Pertama kali ia berkolaborasi dengan brand internasional adalah saat temannya meminta membuat cincin dengan logo Band Streetwear, Us Versus Them. Waktu itu, ia mencoba mengirim email ke pemilik brand tersebut untuk meminta izin membuat cincin. Si pemilik brand pun mengizinkan, dengan syarat hanya dibuat satu dan dikabari setelah hasilnya jadi.

Setelah melihat hasilnya, mereka tertarik dan mengenalkan brand Surya ke komunitasnya yang mencakup komunitas Hot Road. Dari situ Surya mulai berinteraksi dengan pasar mancanegara. Di samping itu, ia juga kerap mengirim email pada para artis untuk diajak bekerja sama. “Kayak endorse awalnya, tapi mereka malah maunya beli,” katanya.

Surya terbilang cukup sering mengikuti event urban art sebagai media untuk membangun jaringan dan merambah pasar lebih luas. Terakhir, ia dan timnya mengisi workshop di Singapura dalam helatan Aliwal Urban Art Festival Januari lalu. Di sana, ia mengajari orang-orang Singapura bagaimana membuat signed ring ala Sweda. Kini ia telah memiliki pasar di sejumlah negara di Eropa dan Amerika.

Cincin Sweda dibandrol dengan harga kisaran Rp800.000 sampai Rp1.500.000. Sedangkan untuk konsumen mancanegara, ia bandrol $100 hingga $200. Sejumlah artis dan musisi yang puas dengan hasil produk Surya di antaranya Indro Warkop, Jerinx SID, Steve Item Dead Squad, Machine Gun Kelly, dan masih banyak lagi. Kini ia telah memiliki enam pegawai dengan dua studio. Saat ditanya berapa omzetnya, ia hanya menjawab “Ya bisa buat ngredit.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Proliga Hari Pertama, Jakarta Pertamina Enduro Kalahkan Bandung BJB

Olahraga
| Jum'at, 26 April 2024, 10:37 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement