Advertisement

Hari Terakhir Suradi Bersama Anaknya yang Jadi Korban Kesintingan Derbi DIY

Salsabila Annisa Azmi
Sabtu, 28 Juli 2018 - 09:25 WIB
Budi Cahyana
Hari Terakhir Suradi Bersama Anaknya yang Jadi Korban Kesintingan Derbi DIY Pemakaman Muhammad Iqbal Setyawan, korban keberingasan suporter bola. - Harian Jogja/Salsabila Annisa Azmi

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Muhammad Iqbal Setyawan menjadi korban kegilaan yang kerap merungkupi Derbi DIY. Dia kehilangan nyawa lantaran dikeroyok segerombol orang seusai melihat pertandingan PSIM Jogja melawan PSS Sleman di Stadion Sultan Agung, Bantul. Padahal, dia bukan suporter kedua tim. Dia adalah pencinta sepak bola yang ingin melihat pertandingan. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com Salsabila Annisa Azmi.

26 Juli 2018

Advertisement

Matahari tepat di atas kepala, jam digital di layar ponsel Aiptu Suradi menunjukkan pukul 12.00 WIB. Saat di Mapolsek Pleret, tempatnya bekerja, sedang lengang. Sebagian rekannya berjaga di Stadion Sultan Agung Bantul untuk mengamankan pertandingan Liga 2 2018 antara PSIM Jogja dan PSS Sleman. Itu adalah pertandingan sepak bola yang panas, meski levelnya cuma kompetisi kelas kedua di Indonesia. Rivalitas kedua klub, bersama suporternya, sudah mengurat akar. Polres Bantul sudah mencium tanda-tanda keributan dan mengerahkan seluruh kekuatan untuk meredamnya.

Sementara, Suradi masih duduk di bangku markasnya. Konsentrasinya tertuju penuh pada satu kolom percakapan di Whatsapp yang dia beri nama Iqbal.

“Di mana?”

Kalimat singkat itu dia kirimkan kepada anak keduanya, Muhammad Iqbal Setyawan, 16. Perasaannya buncah oleh suatu hal yang sama sekali tidak menyenangkan. Meski tidak bisa mendefinisikan perasaan itu, Suradi yakin dia harus mengantarkan anaknya menonton Derbi DIY yang sudah dinanti-nantikan sejak dua hari sebelumnya.

15.00 WIB

Beberapa jam kemudian, Suradi memacu sepeda motor menuju Sultan Agung. Konsentrasinya di jalan nyaris pecah, Suradi tak tahu persis mengapa. Dia hanya tahu otaknya terus memutar memori saat putranya memohon izin padanya untuk menonton bola. Saat itu Suradi mengizinkan. Namun sehari sebelumnya, keraguan tiba-tiba mengepung hatinya. Sebagai anggota polisi, dia tahu betul betapa gawat keadaan apabila suporter kedua tim tersebut sampai bentrok. Apalagi, dua bulan lalu pecah kericuhan yang memorak-porandakan Sultan Agung saat Bonek datang mendukung Persebaya berlaga melawan Persija Jakarta.

Mbok rasah nonton. Wong keadaannya begitu,” kalimat itu dia lontarkan kepada putranya.

Iqbal toh tetap ingin menonton.

Roda motor Suradi terus bergulir, membawanya ke jalan setapak. Tak terlalu jauh, tak terlalu dekat dari Stadion. Iqbal menyambutnya dengan lambaian tangan. Iqbal masih di atas motornya. Bapak dan anak itu kemudian melanjutkan perjalanan sampai ke depan pintu gerbang utama Sultan Agung.

Di depan regol, empat teman Iqbal menunggu. Suradi meminta bantuan rekan-rekannya yang berjaga di sekitar stadion untuk mengantarkan Iqbal bersama teman-temannya masuk.

“Titip anakku, tolong bantu dia masuk,” kata Suradi.

Tanpa mengatakan apa pun, Iqbal sempat memandang sekilas sang ayah sambil mengangguk kecil, kemudian berbalik badan menuju pintu masuk stadion. Suradi memandang punggung anaknya semakin menjauh, masih dengan perasaan yang sama tidak menyenangkan. Setelah terdiam sejenak, Suradi memutuskan untuk pulang ke rumahnya di RT 04, Dusun Balong, Timbulharjo, Sewon, Bantul.

17.30 WIB

Mata Suradi bergerak kiri ke kanan. Melalui layar ponsel, dia membaca terlalu banyak keruwetan dalam satu waktu. Chat Whatsapp di grup Polsek Pleret, medsos, judul berita, semuanya kompak mengabarkan satu peristiwa. Pertandingan PSIM Jogja melawan PSS ricuh. Suradi kalut. Matanya membulat melihat satu foto di grup Polsek Pleret.

“Seorang korban bentrok suporter kini ada di rumah sakit dengan luka-luka di dahi dan mata.”

Begitu inti dari informasi yang dia dapat.

Dia pandangi foto setengah badan seorang pemuda: mengenakan celana pendek dengan model yang persis dipakai Iqbal. Suradi mengamati bentuk kaki pemuda di foto itu lekat-lekat, jantungnya berdebar tak keruan. Mirip seperti kaki anak keduanya. Dia langsung mencoba menghubungi anaknya, nihil. Handphone Iqbal tidak aktif. Suradi beranjak keluar rumah untuk meminta bantuan warga mencari anaknya. Istri dan kedua adik kecil Iqbal berusaha menenangkan diri di rumah.

18.00 WIB

Sekumpulan pemuda-pemudi Karang Taruna berkumpul di depan gapura Dusun Balong karena Angga melaporkan bahwa Iqbal menghilang setelah pertandingan. Angga adalah satu dari empat kawan Iqbal yang menemaninya menonton dalam satu tribune. Dua teman mereka berasal dari Cangkringan, Sleman, dan itu yang mungkin menyebabkan Iqbal disangka suporter PSS.

Angga lolos dari kepungan gerombolan orang-orang yang kalap, tetapi Iqbal tertinggal dan dikeroyok.

Para pemuda geram. Langsung saja mereka melapor kepada Suradi. Akhirnya malam itu, bersama Suradi, mereka menyusun rencana mencari Iqbal di beberapa rumah sakit. Mereka membagi beberapa regu. Tetua di Karang Taruna Dusun Balong, Ronggo, bersama regunya menyisir Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul, Rumah Sakit Panembahan Senopati, hingga Rumah Sakit Nur Hidayatullah. Tak ada hasil, yang mereka lihat hanya wajah asing penuh luka pukul yang tergeletak menunggu giliran rawat medis.

“Dapat kabar dari yang cari di Rumah Sakit Permata Pleret, katanya Iqbal ada di sana, cepat kita ke sana,” kata salah satu pemuda kepada Ronggo.

Berombongan, kuda besi para pemuda itu langsung meluncur menuju Rumah Sakit Permata Pleret.

Setibanya di sana, Ronggo menangkap satu sosok terbaring di bed rumah sakit, bertelanjang dada, matanya bengkak, pelipis dan dahinya luka, lengannya lebam-lebam. Mata sebelah kirinya tertutup perban. Ronggo ragu apakah benar itu kawannya. Setelah dia dekati, ternyata Iqbal. “Korban saat ini kritis. Ada luka pukul di leher dan tengkuk, kemungkinan luka dalam,” begitu kata sang dokter jaga kepada Ronggo.

20.00 WIB

Rombongan pemuda bersama Suradi dan keluarga tiba di Rumah Sakit Permata Pleret. Iqbal masih kritis. Suradi dan keluarga terus menunggu perkembangan kesadaran Iqbal. Akhirnya duka datang juga. Pukul 21.00 WIB Suradi harus merelakan nyawa Iqbal melayang di tangan orang-orang yang bahkan dia tidak tahu wajahnya. Tangisnya pecah saat dokter mengatakan agar dirinya mengikhlaskan kepergian anaknya. Saat itu Suradi memahami arti perasaan tidak enak saat melihat punggung anaknya menjauh di gerbang Stadion Sultan Agung sore itu.

27 Juli 2018

Pukul 08.00 WIB, rumah mendiang Iqbal dipadati warga yang bahu membahu mendirikan tenda. Suradi berdiam diri di dalam rumah sederhana bercat ungu, bersama sang istri, Tri Wahyuningsih. Suradi duduk di sebuah sofa busa yang telah sobek di beberapa bagian.

“Saya jujur enggak tahu anak saya suka tim sepak bola apa, yang saya tahu dia memang suka sepak bola sejak kecil. Saya hanya berharap, pelakunya cepat ketemu. Saya enggak tahu polsek mana yang menangani, saya harap pelaku diberi hukuman setimpal,” kata Suradi.

Hening panjang sangat mencekik pagi itu. Suradi berkali-kali menghela napas.

“Saya mengantar dia ke stadion, saya, iya, sempat mengantar, ya, saya enggak tahu, saya enggak tahu kalau jadinya bakal begini.” Suradi terbata-bata.

Bulir air mata menggantung tepat di sudut mata keriputnya. Tatapannya kosong ke depan tepat saat dia mengakhiri cerita pencarian anaknya yang sekarang tinggal nama.

Suradi beranjak dari sofa, menyambut tamu yang mulai berdatangan.

Pukul 12.00 WIB, rumah Suradi berubah menjadi lautan manusia. Mulai dari teman sekolah Iqbal di SMK 1 Pleret, tetangga, hingga pejabat dan Bupati Bantul Suharsono turut datang menyampaikan belasungkawa. Karangan bunga berjejer di pinggir jalan setapak. Saking banyaknya, udara siang hari itu wangi, kontras dengan kesedihan yang menyergap Dusun Balong.

Ronggo yang mengenakan seragam biru Karang Taruna berdiri di sudut satu karangan bunga, menyaksikan hilir mudik pelayat, dengan mata yang masih sembab.

“Kami masih berusaha mencari handphone Iqbal yang hilang, beserta bukti-bukti video atau foto dari penonton. Karena dari situ kita bisa tahu kejadian saat pertandingan atau sebelumnya. Jujur rasanya sakit. Saya sudah ingin dia jadi penerus Karang Taruna, tetapi malah ada kejadian begini,” ucap Ronggo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Olimpiade Paris 2024, Obor Api Dimulai Dinyalakan dari Reruntuhan Kuil Hera di Yunani

Olahraga
| Senin, 15 April 2024, 11:37 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement