Advertisement

Prancis Vs Kroasia, Patriotisme Imigran & Pertempuran Korban Perang

Hanifah Kusumastuti
Minggu, 15 Juli 2018 - 20:25 WIB
Budi Cahyana
Prancis Vs Kroasia, Patriotisme Imigran & Pertempuran Korban Perang Rumah kelahiran Luka Modric di Zadar, Kroasia. - Reuters/Antonio Bronic

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Bagi skuat multikultur Prancis, final Piala Dunia 2018 bisa menjadi panggung untuk menunjukkan nasionalisme mereka. Ini juga ibarat perang bagi sebagian pemain Kroasia yang kehilangan keluarga pada konflik peperangan di semenanjung Balkan pada 1990-an.

Luka Modric baru berusia enam tahun ketika dipaksa mengungsi dari tempat kelahirannya di Kroasia, Desember 1991. Ia dan keluarganya harus pindah ke wilayah dekat Zadar, tempat para pengungsi tinggal. Kakeknya terbunuh oleh tentara Serbia. Namun, pengalaman kelam di masa kecil itu membuat Modric tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, termasuk di lapangan.

Advertisement

"Saya mengalami bagaimana mengatasi kerasnya hidup. Yang penting jangan pernah menyerah, tidak pernah menyerah dengan keadaan, percaya diri dan berjuang tidak peduli bagaimana caranya," ujar Modric, seperti dilansir Reuters, Sabtu (14/7/2018).

Kini, ia menjadi pilar generasi penuh talenta Kroasia yang bakal bertemu Prancis pada final Piala Dunia 2018 di Luzhniki Stadium, Moskow, Minggu (15/7/2018) pukul 22.00 WIB. Modric bak prajurit di medan perang yang tak kenal lelah selama di Rusia. Dia melepaskan 368 operan sukses dan menjelajah 63 km sejak fase grup.

Kapten Kroasia itu akan memimpin final pertama bagi negara yang berpenduduk hanya sekitar 4,5 juta jiwa tersebut di Piala Dunia. Sebelum era Modric, Kroasia pernah menelurkan generasi emas bersama Davor Suker dkk. yang lolos ke semifinal Piala Dunia 1998. Tapi, Modric cs. bisa melampaui tim senior mereka tersebut dengan membawa Kroasia lolos ke final pada 2018 ini.

Dengan semangat patriotik, pasukan Zlatko Dalic ini ingin mempersembahkan gelar pertama bagi negara yang berdiri pada 25 Juni 1991 itu.

“Ini laga yang bersejarah, tidak hanya bagi 13 atau 14 pemain dan skuat Kroasia, namun bagi seluruh orang Kroasia. Ada sekitar 4,5 juta [jumlah penduduk Kroasia] pemain di lapangan. Anda bisa lihat bagaimana kami selama sebulan terakhir. Tidak bisa dijelaskan kata-kata, penuh kebahagiaan, kebersamaan, kekompakan, kebanggaan, itu luar biasa. Jika stadion cukup menampung 4,5 juta orang, maka itu akan penuh,” ucap gelandang Kroasia, Ivan Rakitic, seperti dilansir sportskeeda.com.

Bek Kroasia, Domagoj Vida, yang pernah pernah diragukan nasionalismenya setelah mengucap Glory to Ukraine seusai menggebuk Denmark di perempat final akan membuktikan jiwa patriotiknya. Vida memang sudah meminta maaf atas ucapannya. Dia tidak bermaksud melecehkan Kroasia dengan kata-katanya itu dan mengaku ucapannya itu ditujukan kepada klubnya, Dynamo Kiev, di Ukraina.

Pembuktian nasionalisme juga akan ditunjukkan skuat multietnik Prancis di lapangan. Sekitar 65 persen pasukan Didier Deschamps merupakan keturunan warga asing. Top scorer Prancis di Piala Dunia 2018, Kylian Mbappe, merupakan keturunan Kamerun (ayah) dan Aljazair (ibu). Antoine Griezmann lahir di Burgundy, yang memiliki darah campuran Jerman-Portugal.

Les Bleus, julukan Prancis, datang ke Rusia dengan para pemain multietnis. Di antara orang tua mereka antara lain berasal dari Mali, Guinea, Togo, Kongo, Angola, bahkan Monaco, Italia, dan Spanyol. Hanya ada dua pemain yang berdarah asli Prancis dalam starting XI Les Bleus ketika menaklukkan Belgia 2-1 di semifinal. Mereka adalah bek Benjamin Pavard yang berasal dari Maubeuge, utara Prancis, serta Rhapael Varane, di mana ibunya asli Prancis dan ayahnya dari Martinique, wilayah Prancis yang berada di Karibia.

Namun, para pemain Prancis itu akan mengumandangkan lagu kebangsaan yang sama, La Marseillaise, ketika bertemu Kroasia di Luzhniki Stadium. Skuat Prancis ini seolah mengingatkan skuat Les Bleus ketika menjuarai Piala Dunia 1998 dengan pemain-pemain the black-blanc-beur, sebutan untuk keturunan kulit hitam-kulit putih-Arab.

Saat itu, Prancis dikapteni Didier Deschamps, pria yang menakhodai Les Bleus di Piala Dunia 2018. Deschamps disebut-sebut memiliki kesamaan dengan pelatih Aime Jacquet, bersikap menyingkirkan sejumlah pemain bintang demi keutuhan tim. Sedangkan kecerdasan Mbappe dalam mengolah si kulit bundar disamakan dengan Zinedine Zidane yang juga keturunan Aljazair. Mbappe merupakan pemain yang paling sering mengemas dribel, yakni 63 kali, selama Piala Dunia 2018. Prancis juga memiliki bek tangguh, Samuel Umtiti, seperti ketika Les Bleus diperkuat Lilian Thuram.

Deschamps memang pernah membawa Prancis meraih gelar Piala Dunia untuk kali pertama bagi negara tersebut pada 1998. Namun, tim besutannya gagal menjadi juara Euro 2016. Padahal, Paul Pogba dkk. juga diunggulkan sebagai juara saat melawan Portugal di final Euro dua tahun lalu. Kali ini, Prancis semakin lapar gelar bergengsi karena pada final Piala Dunia 2006, mereka takluk dari Italia.

“Ini pengalaman yang berbeda. Ya, menyenangkan, ada andrenalin besar. Sebagai pelatih, kami punya batasan. Kami di sini untuk pemain,” ungkap Deschamps, seperti dilansir thenational.ae.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Solopos

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Jogja Tuan Rumah Superchallenge Supermoto 2024, Catat Tanggalnya

Olahraga
| Sabtu, 20 April 2024, 05:47 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement