Advertisement

Jerman Pantas Tersingkir karena Mereka seperti Mayat Hidup

Budi Cahyana
Kamis, 28 Juni 2018 - 17:45 WIB
Budi Cahyana
Jerman Pantas Tersingkir karena Mereka seperti Mayat Hidup Mesut Ozil, Antonio Rudiger, Marco Reus, dan Thomas Muller harus menerima hujatan karena menjadi juru kunci di Grup F Piala Dunia 2018. - Reuters/John Sibley

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Jerman sepatutnya tersingkir dari Piala Dunia 2018 lantaran mereka bermain seperti mayat hidup yang terlalu lama memegang bola dan kebingungan mengarahkannya. Gaya main Die Mannschaft sudah terlalu membosankan. Reputasi yang dianggit puluhan tahun ambrol seketika.

Dalam konferensi pers setelah kekalahan 0-2 dari Korea di Kazan Arena, Rabu (27/6/2018), pelatih Joachim Low berkata, “Kami tidak pantas memenangi trofi Piala Dunia lagi. Kami tidak pantas melaju ke 16 besar.”

Advertisement

Jerman tampil sangat buruk di laga terakhir Grup F dan mendapat hukuman yang setimpal. Mereka tak cuma menjemukan, tetapi juga menjengkelkan. Juara dunia 2014 itu bermain dengan tempo lambat di sepertiga akhir lapangan dan tak bisa bikin gol.

Begitu Swedia mencetak gol pertama ke gawang Meksiko sehingga Jerman harus menang atas Korea, Low memasukkan Thomas Muller dan Mario Gomez. Tetapi gaya main tak berubah, tetap sangat pelan seperti cara berjalan pemalas yang bangun terlalu pagi.

“Kami tak lagi dinamis, tak bisa bermain dengan luwes sepertu biasanya. Ya, kami pantas tersingkir,” ucap Low.

Media-media Jerman langsung menurunkan berita yang mencela karakter Die Mannschaft. Bild membuat judul persis seperti empat tahun lalu ketika Jerman mengalahkan Brasil 7-1 di semifinal 2014, Aib Terbesar. Bedanya, aib kali ini bukan berada di tim lawan, melainkan di Timnas Jerman sendiri. Die Welt, koran konservatif yang selalu bersemangatsaban Piala Dunia menyebut kinerja anak asuh Low memalukan, terlalu jinak, miskin ide dan semangat.

 

Jerman punya segalanya untuk mengalahkan Korea, juga untuk kembali menjadi juara dunia. Skema mereka sudah sangat mapan sejak lima tahun belakangan. Pemain mereka berada di usia emas, dengan kualitas yang sangat bagus di level klub maupun tim nasional. Sayangnya revolusi yang diusung Low berjalan ke arah yang keliru setelah kesuksesan di Brasil.

Ketika menangani Jerman 12 tahun lalu, Joachim Low meneruskan gagasan Jurgen Klinsmann: menjadikan Die Mannschaft sebagai tim yang progresif dan memuja possession football. Jerman adalah pengejawantahan apa yang diyakini Xavi Hernandez, dirigen utama tiki-taka ala Pep Guardiola, sebagai kunci utama bermain bola. “Jika Anda bisa menguasai bola, maka Anda bisa mengendalikan permainan.”

Di Rusia, mereka memang bisa mengendalikan permainan, tetapi tak bisa mengontrol hasil akhir.

Possession Football

Jalan Die Mannschaft sebagai penganut possession footbaltidak instan. Pada Piala Dunia 2010, Jerman menggilas Inggris 4-1 dan Argentina 4-0 dengan metode yang sekarang dianut Korea dan Meksiko, yakni serangan balik kilat.

Itu adalah masa-masa awal Mesut Ozil, Thomas Muller, Jerome Boateng, Toni Kroos, dan Sami Khedira berbaju Die Manschaft. Dua tahun berselang ketika pemain-pemain ini semakin matang, Jerman perlahan-lahan menerapkan possession football. Hasilnya kurang bagus. Mereka kalah 1-2 dari Italia di semifinal Euro 2012.

Ketika Pep Guardiola menangani Munchen dan mengubah klub tersebut menjadi sangat dominan dalam penguasaan bola, Low membebek sekaligus menyetip metode serangan balik dan pertahanan solid dalam cara main anak asuhnya. Jerman kini bermain seperti Spanyol: memegang bola, langsung menguasai pertahanan lawan, mengoper, dan menembak begitu ada kesempatan.

Dia sukses. Jerman menjadi juara dunia di Brasil dengan rata-rata penguasaan bola 60%.

Gaya ini semakin radikal dimainkan di Euro 2016, dengan risiko yang semakin besar. Saat kalah dari Prancis di semifinal Euro 2016, Jerman menguasai bola hingga 62%, tetapi kebobolan dua gol Antoine Griezmann lantaran lini belakang sangat ceroboh. Penguasaan bola masih manjur membawa Jerman memenangi 10 laga kualifikasi menuju Brasil. Namun, kemenangan 5-1 atas Azrebaijan pada Oktober 2017 adalah kejayaan terakhir possession football ala Jerman. Dalam pertandingan uji coba, Die Mannschaft tak bisa mengalahkan Inggris, Prancis, Spanyol, Brasil, bahkan Austria dengan penguasaan bola dominan. Di pertandingan pemanasan terakhir sebelum ke Rusia, Jerman hanya mampu menang 2-1 atas Arab Saudi.

Low sudah mengendus bahaya sejak kekalahan dari Austria di Klagenfurt.

“Kami bermain ceroboh. Jika ini diulangi di Rusia, kami jelas bakal kalah,” ucap Low kala itu.

Low kemudian yakin persoalan bakal bisa dibereskan dalam dua pekan pemusatan latihan sebelum Piala Dunia 2018 dimulai.

Minim Determinasi

Ternyata dia keliru. Pada laga pertama, Die Mannschaft memegang penguasaan bola sampai 66,4% tetapi kalah gara-gara Thomas Muller serampangan saat menggiring dan rombongan bek Jerman terlalu tinggi menerapkan garis pertahanan. Saat melawan Swedia, penguasaan bola Jerman sampai 75,5% dan kebobolan karena Toni Kroos sembrono saat mengumpan.

Kecerobohan itu kembali terlihat dalam pertandingan paling memalukan Jerman di Kazan Arena kemarin. Jerman memegang penguasaan bola sampai 74%, tetapi ketika menerima tendangan sudut, mereka awut-awutan. Selain teledor, mereka juga tak bisa bermain tenang dan ini terlihat saat Manuel Neuer seolah hilang kewarasan dan ikut menyerang di menit-menit akhir. Gol kedua Korea lahir karena akal sehat para pemain Jerman sudah lenyap.

Di luar pengabaian terhadap detail pertandingan, dosa paling besar Jerman adalah malas. Mereka bermain tanpa determinasi dan tekanan tinggi. Mereka cuma mengoper ke sana ke mari di sepertiga akhir lapangan tanpa usaha menembak dan mengurai rapatnya pertahanan lawan

Jonathan Wilson, pakar taktik sepak bola, dalam kolomnya di Sport Illustrated menyatakan Jerman hancur lebur di Piala Dunia karena kehilangan semangat bertarung, kehilangan nilai-nilai yang membuat mereka menjuarai Piala Dunia tiga kali pada 1954, 1974, dan 1990.

Jerman menjadi kampiun 2014 dengan permainan impresif dan modern, memadukan bakat dan kerja sama tim dan ini melenakan. Pemain-pemain yang empat tahun lalu menjunjung trofi itu seolah melupakan kerja keras.

Jerman memenangi tiga Piala Dunia sebelumnya hanya karena kerja keras. Di 1954, Hungaria yang memelopori taktik WM bermain seperti mesin penghancur, melumat Jerman Barat 8-3 di fase grup. Di final, giliran Jerman Barat yang menang 3-2 dan menjuarai turnamen, hanya dengan modal kerja keras dan kegigihan untuk menang. Pada 1974, semua yang mengikuti perkembangan sejarah sepak bola tahu belaka, Belanda dan total football-nya lebih pantas merengkuh trofi. Kemudian kegigihan dan kekompakan lagi-lagi membawa Jerman Barat menjungkirkan semua telaah. Pada 1990 di Italia, dalam Piala Dunia yang paling defensif dan membosankan, Jerman Barat menjadi pemenang karena mereka juga membosankan dan melengkapinya dengan daya juang tinggi.

Jejak-jejak tersebut yang membuat Jerman dijuluki sebagai turniermannschaft, tim spesialis turnamen: seburuk apa pun permainan mereka, Jerman akan menang. Sampai-sampai seusai Inggris kalah adu penalti di Piala Dunia 1990, Gary Lineker mengucapkan kalimat yang menjadi sangat masyhur, kredo yang banyak dikutip untuk menggambarkan kehebatan Die Mannschaft.

“Sepak bola adalah permainan sederhana. 22 Orang berebut bola selama 90 menit dan pada akhirnya, Jerman selalu menang.”

Kerja keras itu terlihat saat menghadapi Swedia, tetapi hilang tak berbekas di depan Korea dan ini membuat banyak orang murka dan mengutuk.

Dalam akun Twitter-nya, Lothar Matthaus yang berpengalaman main di lima Piala Dunia dan menjadi kapten di Italia 1990 menyatakan Jerman terlalu percaya diri dan main tanpa persapan. Dia adalah pengkritik paling rajin belakangan ini. Saat menulis kolom di Bild, Matthaus mengutarakan ketidaksukaannya kepada Mesut Ozil, mengatakan playmaker tersebut terlihat tak punya semangat mengenakan seragam Jerman. Di Sky Sport, dia juga menganggap Jerman sudah kehilangan kualitas yang membawa mereka berjaya di masa lalu.

Michael Ballack, bagian dari generasi terakhir penganut gaya main yang menonjolkan kerja keras alih-alih talenta individu, melontarkan kalimat yang amat pedas.

“Kita boleh-boleh saja tersingkir lebih awal bersama tim yang buruk, tetapi bukan bersama tim seperti ini. DFB [Federasi Sepak Bola Jerman) harus segera mengevaluasi!”

Ballack adalah pemain paling menonjol di Jerman kala melangkah ke final Piala Duunia 2002. Dia menjadi kapten saat Jerman menjadi tuan rumah pada 2006 dan pada 2010 gagal memimpin generasi baru karena cedera.

Generasi anyar tersebut, yang lahir dari sistem pembinaan pemain muda yang sangat rapi, menerbitkan harapan pada 2010 dan membanggakan sekujur negeri empat tahun lalu. Kini, generasi yang melambung karena bakat dan kepiawaian mengolah bola sudah berubah menjadi musuh khalayak, mengecewakan jutaan orang karena talenta yang mereka miliki tak diimbangi dengan kerja keras.

Reputasi Jerman pun luntur dan Gary Lineker dengan riang berkata, “Sepak bola adalah permainan sederhana. 22 Orang berebut bola selama 90 menit dan pada akhirnya, Jerman tidak lagi selalu menang.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Olimpiade Paris 2024, Obor Api Dimulai Dinyalakan dari Reruntuhan Kuil Hera di Yunani

Olahraga
| Senin, 15 April 2024, 11:37 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement